Rabu, 30 November 2011

saya atau anda dulu yang seharusnya ‘mematikan’?

mematikan? Bukan bunuh membunuh yang akan saya tulis di artikel ini, tapi tentang sebuah alat komunikasi yang sejatinya sudah menjadi barang wajib bagi kehidupan manusia. Ya... it’s about handphone.
Let me share my experience first...
Ketika itu saya tengah menikmati semilir angin di tepi pantai bersama teman saya, sambil menunggu sunset sore itu. Tidka berapa lama kemudian, handphone saya getar, yang tidak lain dan tidak bukan ternyata ada seorang sahabat yang melefon. Dan saya pun langsung mengangkatnya..
Tidak berapa lama perbincangan kami lewat handphone pun selesai, saya pun mengucap salam dan mematikannya. Beberapa detik kemudian teman saya yang dari tadi tengah duduk di sebelah saya pun menegur apa yang baru saja saya lakukan. Awalnya saya kaget, karena saya merasa tidak melakukan kesalahan apapun, karena dari awal saya hanya mengangkat telefon dari teman saya dan setelah selesali sayap pun mematikan telfon tersebut.
Kemudian teman saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada saya,,
Siapa yang menelfon? Siapa yang mengakhiri?
Dan siapa yang mematikan?
Spontan saya pun menjawab, bahwa sahabat saya lah yang menelfon, saya yang mengakhiri karena saya merasa tidak enak dengan anda (sebagai teman saya), saya tidak ingin anda merasa ‘diabaikan’, kemudian saya lah yang mematikan.
Mendengar pertanyaan tersebut, teman saya pun sedikit banyak memberi saran kepada saya. Bahwa ketika ada seseorang menelfon, sebenarnya dia lah yang lebih berhak untuk mengakhiri perbincangan tersebut, begitu juga ketika mematikan. Sebab bagaimanapun juga mereka yang menelfon, mereka merasa punya sebuah kepentingan untuk membicarakan sesuatu, jika kita yang notabene hanya berperan sebagai ‘listener’ terlebih dahulu mengakhiri, makan sedik banyak itu akan memberikan sebuah perasaan yang kurang enak yang akan di rasakan oleh si penelfon tersebut.
Dan itu pun terjadi beberapa bulan setelah kejadian tersebut. Suatu sore saya berniat untuk menelfon teman. Setelah berbincang ngalor ngidul, saya pun berniat untuk mengakhiri obrolan via telfon tersebut. Namun bukan saya yang mengucapkan salam ataupun memencet ‘tombol off’ ketika itu, melainkan teman saya. Nasehat yang pernah teman saya katakan pun benar-benar saya rasakan. Ketika kita yang lebih dahulu menelfon tapi malah orang yang hanya berperan sebagai ‘listener’ lah yang mengucap salam dan menutup telfon terlebih dulu. Rasa ‘sakit’ memang lama menghinggap di hati saya...
Tapi bagaimanapun juga saya sadar itu merupakan karma yang sejatinya pantas untuk saya dapatkan. Walau merupakan hal sepele dan sangat sederhana, tapi benar-benar pantas untuk diperhatikan dan di lakukan....

Tidak ada komentar: